Awananta Atma dateng ring Acintya Pada, mangkana pemekas Mpungku
Sang Dewa Pitara. (Kutipan Lontar Pitra Puja).
Maksudnya : Karena itu Sang Hyang Atma sampai pada alam yang tak terpikirkan
(Acintya Pada). Oleh karena itu beliau disebut Dewa Pitara.
Upacara Atman Wedana adalah
tergolong Pitra Yadnya yang dilakukan setelah upacara Ngaben. Tujuan upacara
Atma Wedana dinyatakan dalam Lontar Pitra Puja yang dikutip di atas. Tujuan
Atma Wedana dinyatakan juga dalam Lontar Ligia sebagai berikut: ''Sang Dewa
Pitara mur umungsi ana ring Acintya Bhuwana''. Artinya, Beliau Dewa Pitara
berangkat menuju alam yang disebut Acintya Bhuwana. Sedangkan tujuan Upacara
Sradha menurut Lontar Negara Kertagama disebut: ''Mulih maring Siwa Buddha
Loka''. Maksudnya, setelah upacara Sradha, Atman itu menuju alam yang disebut
Siwa Buddha.
Prof. Dr. Ida Bagus Mantra
dalam orasi ilmiahnya menyatakan, konsepsi dasar upacara Memukur atau Atma
Wedana itu sama dengan upacara Sradha menurut Lontar Negara Kerta Gama. Karena
itu candi di Jawa yang tergolong Candi Atma Pratistha bukanlah kuburan Raja
tetapi tempat pemujaan Dewa Pitara Sang Raja yang diidentikkan dengan Dewa-Dewa
Hindu, seperti Raja Erlangga diidentikkan dengan Dewa Wisnu.
Prof. Dr. Soekmono juga
membuktikan melalui suatu penelitian bahwa dalam sumuran candi di Jawa itu
tidak ditemukan abu tulang jenazah sang raja. Yang ditemukan sejenis pedagingan
Pura di Bali. Orasi ilmiah itu disampaikan oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra saat
upacara Dies Natalis Fakultas Sastra Udayana Denpasar yang saat itu masih
berada di bawah Universitas Airlangga Surabaya.
Menurut konsep Upanisad:
''Brahman Atmanaikyam'' yang artinya Atman itu adalah Brahman. Maksudnya, Atman
yang menjiwai manusia itu adalah tiada lain adalah Tuhan atau Brahman. Tuhan
sebagai jiwa alam semesta atau Bhuwana Agung disebut Braman, sedangkan Tuhan
sebagai jiwa pada diri manusia atau Bhuwana Alit disebut Atman. Kalau manusia
meninggal menurut Wrehaspati Tattwa hanya Atman yang berpisah dengan badan
kasarnya yang berasal dari unsur Panca Maha Bhuta. Menurut Lontar Gayatri, saat
manusia meninggal Atman disebut Preta. Setelah dilangsungkan Upacara Ngaben,
Atman tersebut Pitara. Setelah Upacara Atma Wedana dilangsungkan, barulah Atman
disebut Dewa Pitara. Hakikat Upacara Pitra Yadnya itu adalah upacara Diksita
yaitu upacara peningkatan status Atman yang berada dalam selubung Tri Sarira.
Karena menurut ketentuan Atharvaveda XII.1.11, setiap umat Hindu wajib menjaga
tegaknya kehidupan di Ibu Pertiwi dengan melakukan enam hal. Salah satu adalah
melakukan diksa yaitu membangun kesadaran jiwa yang terang dengan Jnyana Agni
atau sinar suci ilmu pengetahuan. Setelah hal itu dicapai, dilakukan upacara
diksa. Kalau saat masih hidup tidak sempat, maka setelah meninggal di-diksa
saat upacara Ngaben dengan upacara yang disebut Ngaskara. Menurut Wisnu Yamala,
kata diksa berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata ''di'' dan ''ksa''.
''Di'' artinya divya Jnyana atau sinar ilmu pengetahuan dan ''ksa'' artinya
ksaya atau melenyapkan, menghilangkan. Dengan demikian ''diksa'' artinya divya
jnyana atau sinar suci ilmu pengetahuan yang melenyapkan kegelapan atau kebodohan.
Kalau manusia meninggal dan
belum diaben maka roh atau Atman disebut Preta ditempatkan di setra, di bawah
naungan Bhatara Prajapati. Saat penguburan kalau menggunakan Tirtha Pengentas
Tanem boleh diaben kapan saja. Kalau tidak pakai Tirtha Pengentas Tanem wajib
diaben paling lama dalam setahun. Kalau tidak demikian, Atman yang disebut
Preta akan menjadi Atma Diya Diyu yang dapat mengganggu ketenteraman kehidupan
masyarakat desa.
Saat upacara Ngaben
melepaskan badan raga atau Stula Sarira sebagai selubung atman dan Atman yang
disebut Preta meningkat statusnya menjadi Pitara. Setelah Upacara Ngaben
selanjutnya dilangsungkan upacara Atma Wedana. Tujuannya, meningkatkan status
Pitara menjadi Dewa Pitara.
Kelanjutan upacara Atma
Wedana ini dilakukan upacara Nyegara Gunung dengan tujuan Maajar-ajar untuk
mendapatkan tambahan ''ajah-ajah'' atau pengetahuan dari Ida Bhatara di Gunung
seperti Ida Bhatara di Besakih dan Ida Bhatara Segara seperti di Pura Goa
Lawah. Setelah beberapa lama Dewa Pitara mendapatkan ajah-ajah dari Ida Bhatara
di Gunung dan Bhatara di Segara seperti Ida Bhatara di Besakih dan Ida Bhatara
di Goa Lawah maka selanjutnya dilakukan upacara Dewa Pitara Pratistha yang
sudah tergolong upacara Dewa Yadnya karena Atman sudah disebut Dewa Pitara.
Upacara inilah yang umumnya disebut Ngalinggihan Dewa Hyang atau Nuntun Dewa
Hyang di Merajan Kamulan untuk menjadi Bhatara Hyang Guru dengan acuan Lontar
Purwa Bhumi Kamulan.
Upacara Atma Wedana ini
menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima jenis yaitu upacara Nganseng,
Nyekah, Memukur, Maligia dan Ngeluwer. Lima jenis upacara Atma Wedana makna
Tattwanya sama saja. Perbedaannya terletak pada besar kecilnya upacara. Atman
Wedana yang terkecil adalah Nganseng, terus Nyekah, Memukur, Maligia dan yang
terbesar adalah Ngaluwer. Upacara Atma Wedana Ngaluwer ini sepanjang
pengetahuan penulis belum pernah ada yang memilihnya karena syaratnya cukup
berat. Upacara Dewa Pitara Pratistha yang umumnya disebut upacara Nuntun Dewa
Hyang di Kamulan diuraikan sangat rinci dalam Lontar Purwa Bhumi Kamulan
sebagai proses menstanakan Dewa Pitara sebagai Bhatara Hyang Guru di Merajan
Kamulan. Dalam Lontar Purwa Bumi Kamulan dinyatakan bahwa setelah upacara
Memukur Sang Dewa Pitara rika mapisan lawan Dewa Hyangnia nguni. Artinya setelah
upacara Memukur di sanalah Dewa Pitara bersatu dengan Dewa Hyangnya yang
dahulu. Ini artinya perjalanan hidup manusia menuju alam niskala adalah Merajan
Kamulan, bukan di setra. Setra itu adalah tempat sementara dari perjalanan Sang
Hyang Atma. Ini artinya setra itu sebagai tempat untuk melangsungkan prosesi
awal Sang Hyang Atma kembali bersatu dengan keluarganya sebagai Bhatara Hyang
Guru yang umumnya distanakan sebagai Ulun Pekarangan. Karena Sang Hyang Atman
akan mejadi Bhatara Hyang Guru maka saat prosesi Pitra Yadnya itu ada upacara
Maperas yaitu menyerahkan segala hal yang belum mampu diselesaikan saat masih
hidup kepada keturunannya. Bentuk upacara itu dengan menyerahkan pada
keturunannya tiga lembar daun dapdap dengan sebelas uang kepeng. Ini adalah
simbol dari berbagai hal baik yang bersifat material dan nonmaterial yang
diserahkan kepada keturunan yang diupacarai. Dengan demikian Dewa Pitara yang
distanakan sebagai Bhatara Hyang Guru itu tidak ada beban lagi karena sudah
diambil-alih oleh keturunannya, sehingga sebagai Bhatara Hyang Guru fokus
menuntun keturunannya dari niskala.
Sumber : Bali Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar